www.poltekapi.ac.id
Pajak Reklame
Tidak sedikit pelaksanaan pajak daerah dan
retribusi daerah, menjadi isu dan perbincangan nasional di media. Semula hanya
'sekedar' melaksanakan ketentuan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, namun tiba-tiba menjadi bola panas, mencuat dalam isu perpolitikan yang
hangat.
Salah satunya adalah pelaksanaan
pemungutan Pajak Reklame. Terkait pelaksanaan Pajak Reklame ini, setiap Kepala
Daerah perlu menetapkan sebuah produk Peraturan Kepala Daerah yang menjadi opsi
acuan perhitungan penetapan kewajiban Pajak Reklame. Tatkala Walikota Surabaya,
Tri Rismaharini yang kerap disapa Ibu Risma,
menetapkan Peraturan Walikota Surabaya mengenai Nilai Sewa Reklame, membuat
terperanjat para pengusaha Reklame di Kota Surabaya. Dengan dasar ketetapan
baru tersebut, pengusaha reklame akan dikenai kenaikan Pajak Reklame bila
dibandingkan dengan penetapan Pajak Reklame sebelumnya. Hal ini yang akhirnya
dijadikan 'amunisi' bagi DPRD Kota Surabaya untuk memunculkan usulan pemakzulan
(penon-aktifan) Risma dari tampuk Walikota Surabaya. Namun pada akhirnya upaya
pemakzulan tidak berhasil, bahkan beberapa pengusul impeachment ada yang
mengalami recall dari kedudukannya sebagai anggota DPRD Kota Surabaya.
Definisi
Pajak Reklame adalah pajak atas
penyelenggaraan reklame.
Reklame adalah benda, alat,
perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan,
mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang,
atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati
oleh umum.
Berkenaan dengan definisi
tersebut, maka reklame dengan redaksi pesan yang tidak ditujukan untuk tujuan
komersial tidak menjadi ruang lingkup pengenaan Pajak Reklame, seperti iklan
layanan masyarakat, iklan keagamaan, iklan penyelenggaraan politik nasional dan
lain-lain.
Bagaimana dengan iklan seperti ini? :)
Objek Pajak
Objek Pajak Reklame adalah
semua penyelenggaraan Reklame, meliputi:
- Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
- Reklame kain;
- Reklame melekat, stiker;
- Reklame selebaran;
- Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
- Reklame udara;
- Reklame apung;
- Reklame suara;
- Reklame film/slide; dan
- Reklame peragaan.
- penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
- label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
- nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
- Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
- Penyelenggaraan Reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ilustrasi
mengenai pengecualian objek dimaksud, dapat dilihat pada gambar berikut
ini. Pada reklame yang mana akan menjadi pengecualian objek Pajak
Reklame?
Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi
atau Badan yang menggunakan Reklame. Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi
atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
Penyelenggaraan reklame dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Diusahakan sendiri, yaitu dari proses desain, produksi, izin serta proses pemasangannya diupayakan sendiri oleh pihak (orang/badan) yang mengiklankan produknya. Apabila cara seperti ini yang dilakukan maka subjek pajak dan wajib pajak adalah orang atau badan itu sendiri.
- Diselenggarakan melalui pihak ketiga, yaitu pihak yang mengiklankan produknya melakukan kerjasama pembuatan dan pemasangan pada pihak ketiga antara lain agensi periklanan. Maka Subjek Pajaknya adalah pihak yang mengiklankan produk, sedangkan pihak ketiga sebagai Wajib Pajak Reklame.
Perhitungan Pajak Terutang
Pemungutan pajak reklame termasuk dalam jenis pajak official assessment, sehingga penetapan pajak terutang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Tarif pajak reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling tinggi 25%.
Dasar Pengenaan Pajak
Nilai Sewa Reklame (NSR)
Nilai Sewa Reklame ditetapkan dalam Peraturan Bupati/Walikota yang menguraikan nilai komponen perhitungan pajak terutang beserta tata cara perhitungannya. Nilai Sewa Reklame dapat memperhitungkan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran media reklame.
Bila melihat rumus perhitungan pajak reklame, tarif pajak bukanlah satu-satunya yang menjadi komponen dominan besaran pajak reklame. Apabila terjadi ketetapan tarif pajaknya kecil, namun Nilai Sewa Reklamenya menggunakan satuan nilai rupiah yang tinggi, maka pajak terutang akan tetap relatif tinggi.
Pemungutan pajak reklame termasuk dalam jenis pajak official assessment, sehingga penetapan pajak terutang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Tarif pajak reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling tinggi 25%.
Dasar Pengenaan Pajak
- Apabila penyelenggaraan reklame dilakukan oleh pihak ketiga, maka dasar pengenaan pajak dilakukan berdasarkan nilai kontrak pembuatan dan pemasangan reklame. Namun bila Pemerintah Daerah tidak mengetahui nilai kontrak atau dianggap tidak wajar, maka Pemerintah Daerah dapat menggunakan Nilai Sewa Reklame sebagai acuan perhitungan.
- Apabila penyelenggaraan reklame diusahakan sendiri, maka Dasar Penggunaan Pajak menggunakan Nilai Sewa Reklame.
Nilai Sewa Reklame (NSR)
Nilai Sewa Reklame ditetapkan dalam Peraturan Bupati/Walikota yang menguraikan nilai komponen perhitungan pajak terutang beserta tata cara perhitungannya. Nilai Sewa Reklame dapat memperhitungkan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran media reklame.
Bila melihat rumus perhitungan pajak reklame, tarif pajak bukanlah satu-satunya yang menjadi komponen dominan besaran pajak reklame. Apabila terjadi ketetapan tarif pajaknya kecil, namun Nilai Sewa Reklamenya menggunakan satuan nilai rupiah yang tinggi, maka pajak terutang akan tetap relatif tinggi.
Senin, 15 Februari 2016
Pajak Restoran
Pernahkah
mendengar atau membaca istilah 'Pajak Warteg'? Apabila Anda cari
terminologi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, maka tidak akan ditemukan istilah tersebut dalam
undang-undang dimaksud yang menjadi referensi untuk mengatur pemungutan
Pajak Daerah. Namun bila Anda cari istilah itu di dunia maya, maka akan
tersajikan berita yang hangat di kurun waktu tahun 2013, saat penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Pajak Restoran.
Pada
hakikatnya Pajak Warteg yang dibicarakan saat itu adalah penyusunan
ketentuan pengenaan Pajak Restoran yang tidak hanya dikenakan pada
bisnis restoran yang dipersepsikan oleh masyarakat umum pada skala
restoran menengah ke atas, namun akan terikutkan rumah makan skala
menengah ke bawah yang disebabkan adanya usulan penetapan kebijakan yang
ditetapkan dalam perda yaitu omzet penjualan restoran.
Definisi
Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
Objek Pajak
Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran. Pelayanan yang disediakan Restoran meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Berdasarkan ketentuan ini, maka layanan antar (delivery service) atau pemesanan dibawa (take away order), tetap dikenakan Pajak Restoran walaupun tidak menikmati fasilitas sarana restoran.
Tidak
termasuk objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh
Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dengan ketentuan pengecualian objek
Pajak ini, maka tiap kabupaten/kota harus menetapkan besaran omzet usaha
restoran yang tidak dikenakan Pajak Restoran.
Omzet
restoran yang dikecualikan dari objek Pajak Restoran ditetapkan oleh
masing-masing Pemda dengan besaran yang berbeda. Misalnya Pemprov DKI
Jakarta semula menetapkan besaran omzet dalam rancangan Perda Pajak
restoran senilai Rp60.000.000,00 per tahun atau bila dihitung dalam
satuan per hari hanya sebesar Rp170.000,00. Kontroversi di media terjadi
karena dengan besaran seperti itu, banyak usaha kuliner atau warung
tegal yang akan masuk menjadi Wajib Pajak. Akhirnya diputuskan besaran
omzet yang dikenakan Pajak Restoran sebesar Rp200.000.000 per tahun.
Berita terkait:
http://metro.news.viva.co.id/news/read/191861-dki-data-warteg-beromzet-rp60-juta
http://news.detik.com/berita/2379150/soal-pajak-warteg-jokowi-kayak-kita-kurang-objek-pajak-saja
Berikut besaran penetapan minimal omzet Pajak Restoran beberapa kabupaten/kota:
Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran. Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dimaknai Subjek Pajak Restoran adalah orang yang terkena pungutan Pajak yaitu konsumen restoran. Sedangkan yang berkedudukan sebagai Wajib Pajak adalah pengusaha restoran.
Penghitungan Pajak Terutang
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang
diterima atau yang seharusnya diterima Restoran. Service charge yang
dikenakan pada konsumen restoran juga masuk dalam perhitungan Dasar
Pengenaan Pajak.
Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Tarif Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah di masing-masing kabupaten/kota.
Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Tarif Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah di masing-masing kabupaten/kota.
Pajak Terutang = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Contoh:
Contoh:
Apabila
singgah di RM d"Bundo ini, lalu memilih Paket Rp12.000 (termasuk pajak
restoran) untuk dibawa pulang, maka berapa pajak terutang atas pembelian
paket tersebut, dengan tarif Pajak yang ditetapkan Pemerintah Kota
sebesar 10%?
Jawaban
Banyak yang akan menjawab pertanyaan ini dengan mengalikan langsung tarif dengan harga jual (Rp1,200 = 10% x Rp12.000). Namun dengan jawaban ini dapat dicek kebenarannya, apakah dasar pengenaan pajak yang merupakan selisih harga jual dengan pajak terutang adalah sebesar 10%?
Rp1.200 = 10% x Rp10.800
Maka jawaban yang tepat adalah dengan perhitungan sebagai berikut:
Jawaban
Banyak yang akan menjawab pertanyaan ini dengan mengalikan langsung tarif dengan harga jual (Rp1,200 = 10% x Rp12.000). Namun dengan jawaban ini dapat dicek kebenarannya, apakah dasar pengenaan pajak yang merupakan selisih harga jual dengan pajak terutang adalah sebesar 10%?
Maka jawaban yang tepat adalah dengan perhitungan sebagai berikut:
1/11 x Rp12.000 = Rp1.091
Kamis, 11 Februari 2016
Pajak Hotel
Dalam
persepsi sebagian orang, Pajak Hotel hanya dikenakan hanya sebatas pada
biaya penginapan. Bila kita melihat pada ketentuan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, biaya-biaya
lain yang dikenakan pada aktifitas hotel, seperti layanan hiburan, juga
termasuk dalam komponen Pajak Hotel.
Definisi
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan
dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata,
wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta
rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
Objek Pajak
Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang
disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai
kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan,
termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. Yang dimaksud dengan jasa
penunjang adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet,
fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis
lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel.
(Pasal 32 ayat (3) UU 28 Tahun 2009)
Mengacu pada ketentuan tersebut, apabila ada fasilitas hiburan yang
menyatu sebagai fasilitas Hotel, seperti diskotek, spa, fitness center
dll, maka dapat dikenakan Pajak Hotel. Silang pendapat dapat terjadi
antara pemerintah daerah sebagai fiskus dengan pengusaha hotel yang
terdapat fasilitas hiburan yang disebabkan tarif Pajak Hiburan dapat
dikenakan sampai 75%, sedangkan Pajak Hotel hanya dapat dikenakan
maksimal 10%.
Tidak termasuk objek Pajak Hotel adalah:
- jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
- jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya. Pengecualian didasarkan atas izin usahanya.
- jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
- jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
- jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
Subjek dan Wajib Pajak Hotel
Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.
Secara sederhana, yang dimaksud dengan Subjek Pajak Hotel adalah pihak
yang mengeluarkan uang untuk pembayaran Pajak, yaitu Konsumen Hotel.
Sedangkan Wajib Pajak adalah pengusaha Hotel yang berkewajiban untuk
melaporkan kepada Pemerintah Daerah mengenai pemungutan Pajak yang telah
dilakukan.
Perhitungan Pajak Terutang
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel. Kata 'yang seharusnya dibayar' dapat dimaknai dengan pemberian voucher gratis menginap dan yang sejenisnya.
Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif Pajak Hotel yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan dasar
pengenaan pajak.
Berdasarkan data harga yang diambil dari web penyedia pemesanan hotel
untuk harga kamar JW Marriot Jakarta untuk tanggal 13/02/2016, diperoleh
harga harga kamar Rp2.011.807, yang merupakan harga diskon dari
Rp3.674.858. Lalu berapakah pajak terutang apabila konsumen menginap 2
malam bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan tarif Pajak
Hotel 10%?
Jawab.
Dalam contoh tersebut, konsumen akan membayar senilai Rp2.011.807 net
tanpa membayar tambahan apapun termasuk pajak hotel. Maka dapat
disimpulkan bahwa harga tersebut termasuk Pajak Hotel. Bila ditanyakan
berapa pajak hotel terutang, maka seringkali dijawab dengan perhitungan:
Pajak terutang = 10% x (2 x Rp2.011.807) = Rp402.361
Jawaban ini salah karena mengalikan berdasarkan harga jual, bukan atas
dasar pengenaan pajaknya. Silahkan ditest apakah Rp402.361 merupakan 10%
x (2.011.807-402.361)?
Maka jawaban yang tepat adalah
Pajak terutang = 1/11 x (2 malam x Rp2.011.807).
Senin, 08 Februari 2016
Insentif Pemungutan PDRD
Pernah
membaca atau mendengar berita pendapatan sebagai Kepala/Wakil Kepala
Daerah diinfokan sangatlah minim, seakan tidak berimbang dengan tanggung
jawab mereka yang sangat besar? Berita itu mungkin hanya melihat dari
besaran komponen gaji pokok saja, padahal ada komponen lain yang akan
diterima sebagai kepala daerah karena kedudukannya sebagai penanggung
jawab pengelolaan keuangan daerah, yaitu melakukan pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah.
Dasar Hukum
Dalam
pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), ada instrumen yang
ditujukan untuk mendorong dan memotivasi pemungut PDRD agar
mengoptimalkan kinerja pemungutannya, yaitu pemberian insentif
pemungutan.
Dalam Pasal 171 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dicantumkan ketentuan sebagai berikut:
- Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja
- Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
- Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk
peraturan pelaksanaan, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Perbedaan dengan Upah Pungut
Pada
pelaksanaan Undang-Undang sebelumnya, pemberian serupa diberikan dalam
bentuk upah pungut. Perbedaan insentif pemungutan dengan upah pungut
adalah pemberian insentif pemungutan berbasis kinerja, sedangkan upah
pungut diberikan tanpa mempertimbangkan apakah kinerja yg ditetapkan
dapat tercapai atau tidak. Selain itu, pada pelaksanaan pemberian upah
pungut terkadang diberikan pada pihak-pihak yang tidak berhubungan
langsung dengan pemungutan PDRD.
Penerima Insentif Pemungutan
Insentif pemungutan secara proporsional dapat diberikan pada:
- pejabat dan pegawai Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan Retribusi sesuai dengan tanggung jawab masing. Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan Retribusi yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah dinas/badan/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi. Dengan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan insentif pemungutan diberikan untuk keseluruhan personil dinas/badan/lembaga yang melaksanakan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, tentu dengan mempertimbangkan kontribusi dan tanggung jawab masing-masing personil.
- kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai penanggung jawab pengelolaan keuangan
- sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan
- pemungut Pajak Bumi dan Bangunan pada tingkat
desa/kelurahan dan kecamatan, kepala desa/lurah atau sebutan lain dan camat,
dan tenaga lainnya yang ditugaskan oleh Instansi Pelaksana Pemungut Pajak. Yang
dimaksud dengan “tenaga lainnya” adalah tenaga yang mendapat penugasan dari
Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan Retribusi untuk membantu pelaksanaan
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.
- pihak lain yang membantu Instansi Pelaksana pemungut Pajak dan Retribusi yaitu antara lain Kepolisian Daerah dalam pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
Pagu Anggaran Insentif Pemungutan
Insentif pemungutan dapat dialokasikan dalam APBD paling tinggi sebesar 3% untuk provinsi, dan 5% untuk kabupaten/kota, dari rencana
penerimaan Pajak dan Retribusi dalam tahun anggaran berkenaan untuk tiap jenis
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pembayaran Insentif Pemungutan
Pencairan
insentif pemungutan dilakukan berdasarkan realisasi target pendapatan
PDRD yang tercantum dalam APBD. Persentase target penerimaan PDRD yang
menjadi basis pencairan insentif pemungutan ditetapkan dalam Peraturan
Kepala Daerah. Pemberian insentif pemungutan dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
Contoh
Berdasarkan Keputusan Kepala Daerah
ditetapkan target penerimaan per jenis Pajak dan Retribusi sebagai berikut
- sampai dengan triwulan I : 15% (lima belas perseratus
- sampai dengan triwulan II : 40% (empat puluh perseratus
- sampai dengan triwulan III : 75% (tujuh puluh lima perseratus)
- sampai dengan triwulan IV : 100% (seratus perseratus)
Atas penetapan kepala daerah tersebut, maka pembayaran insentif pemungutan dapat diimplementasikan dengan skema sebagai berikut:
- Apabila pada akhir triwulan I realisasi mencapai 15% (lima belas perseratus) atau lebih, Insentif diberikan pada awal triwulan II.
- Apabila pada akhir triwulan I realisasi kurang dari 15% (lima belas perseratus), Insentif tidak diberikan pada awal triwulan II.
- Apabila pada akhir triwulan II realisasi mencapai 40% (empat puluh perseratus) atau lebih, Insentif diberikan untuk triwulan I yang belum dibayarkan dan triwulan II
- Apabila pada akhir triwulan II realisasi kurang dari 40% (empat puluh perseratus), Insentif untuk triwulan II belum dibayarkan pada awal triwulan III.
- Apabila pada akhir triwulan III realisasi kurang dari 75% (tujuh puluh lima perseratus), Insentif tidak diberikan pada awal triwulan IV.
- Apabila pada akhir triwulan III realisasi mencapai 75% (tujuh puluh lima perseratus) atau lebih, Insentif diberikan pada awal triwulan IV.
- Apabila pada akhir triwulan IV realisasi mencapai 100% (seratus perseratus) atau lebih, Insentif diberikan untuk triwulan yang belum dibayarkan.
- Apabila pada akhir triwulan IV realisasi kurang dari 100% (seratus perseratus) tetapi lebih dari 75% (tujuh puluh lima perseratus), Insentif diberikan untuk triwulan III dan triwulan sebelumnya yang belum dibayarkan.
Besaran Insentif Per Bulan
Adapun
besaran insentif untuk personil instansi pemungut, kepala/wakil kepala
daerah, dan sekretaris daerah setiap bulannya, dikelompokkan berdasarkan
realisasi penerimaan PDRD dengan ketentuan:
- di bawah Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), paling tinggi 6 (enam) kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat;
- Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp 2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus milyar rupiah), paling tinggi 7 (tujuh) kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat;
- di atas Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus milyar rupiah), sampai dengan Rp7.500.000.000.000,00 (tujuh triliun lima ratus milyar rupiah), paling tinggi 8 (delapan) kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat;
- di atas Rp7.500.000.000.000,00 (tujuh triliun lima ratus milyar rupiah), paling tinggi 10 (sepuluh) kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat.
Apabila
dalam realisasi pemberian Insentif berdasarkan ketentuan terdapat sisa
lebih, harus disetorkan ke kas daerah sebagai penerimaan daerah.
Adapun
besarnya
pembayaran Insentif untuk pemungut Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan
paling tinggi sebesar 5% dari besaran pagu Insentif pemungutan PBB P2.
Sedangkan besarnya pembayaran Insentif untuk pihak lain ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dari
besaran pagu Insentif pemungutan pajak terkait.
----------------------
Jadi, masihkah anda berpikiran penghasilan Kepala Daerah sangat kecil? :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar