Kamis, 05 Mei 2016

Perhitungan Kredit pajak Luar negeri (PPh pasal 24)

Perhitungan Kredit pajak Luar negeri (PPh pasal 24)

Perhitungan Kredit pajak Luar negeri (PPh pasal 24)
PT Perdana di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2006 sebagai berikut:
Penghasilan Dalam Negeri                                 Rp400.000.000
Penghasilan dari LN (tarif pajak 20%)   Rp200.000.000
Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:
  1. menghitung total penghasilan kena pajak
penghasilan dari dalam negeri                Rp400.000.000
penghasilan dari luar negeri                                Rp200.000.000
Penghasilan neto                                   Rp600.000.000
  1. menghitung total PPh terhutang
10% x Rp  50.000.000 = Rp    5.000.000
15% x Rp  50.000.000 = Rp    7.500.000
30% x Rp500.000.000 = Rp150.000.000
Pajak terhutang             =  Rp162.500.000
  1. menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan
(penghasilan LN : total penghasilan) x total PPh terutang
(Rp200.000.000 : Rp600.000.000) x Rp162.500.000 = Rp54.166.666,61
  1. menghitung PPh yang terutang atau dipotong di LN:
20% x Rp200.000.000 = Rp40.000.000
Dari perhitungan tersebut di atas kredit pajak LN yang diperbolehkan adalah sebesar Rp40.000.000 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di LN. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di LN, kemudian dipilih jumlah yang terendah.
Penghitungan PPh pasal 24 jika terjadi kerugian usaha di dalam negeri
PT Adinda berkedudukan di Indonesia memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2006 sebagai berikut:
–         Di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp600.000.000 (tarif pajak yang berlaku adalah 30%)
–         Di dalam negeri menderita kerugian sebesar Rp200.000.000
Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:
  1. menghitung total penghasilan kena pajak
penghasilan kena pajak dari negara A    Rp600.000.000
kerugian usaha dalam negeri                              (   200.000.000)
jumlah penghasilan neto             Rp400.000.000
  1. menghitung total PPh terutang:
10% x Rp   50.000.000  =                               Rp    5.000.000
15% x Rp   50.000.000  =                               Rp    7.500.000
30% x Rp 300.000.000  =                               Rp  90.000.000
Jumlah pajak terutang                           Rp102.500.000
  1. menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan
(Rp600.000.000 : Rp400.000.000) x  Rp102.500.000 = Rp153.750.000
  1. menghitung PPh yang dipotong/dibayar di LN
30% x Rp600.000.000 = Rp180.000.000
Kredit pajak yang diperbolehkan (PPh pasal 24) adalah Rp102.500.000. jumlah ini diperoleh dengan membandingkan perhitungan PPh maksimum yang dapat dikreditkan dengan PPh yang sesungguhnya dibayarkan/terutang di LN dan total pajak yang terutang.
Perhitungan PPh pasal 24 jika terjadi kerugian usaha di LN
PT Kartika pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
–         di negara X memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang berlaku 40%)
–         di negara Y menderita kerugian sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak yang berlaku) 25%.
–         Di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp500.000.000
Perhitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
  1. menghitung penghasilan total kena pajak
penghasilan dari negara X berupa laba usaha                 Rp300.000.000
penghasilan dari dalam negeri berupa laba usaha            Rp500.000.000
jumlah penghasilan neto                                     Rp800.000.000
  1. menghitung total PPh terutang
10% x Rp50.000.000 =                                               Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000 =                                               Rp    7.500.000
30% x Rp700.000.000 =                                             Rp210.000.000
Jumlah total PPh yang terutang                          Rp222.500.000
  1. menghitung PPh maksimal yang bisa dikreditkan
(Rp300.000.000 : Rp800.000.000) x Rp222.500.000 = Rp83.437.500
  1. menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN
40% x Rp300.000.000 = Rp120.000.000
Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan adalah Rp83.437.500.
Perhitungan PPh pasal 24 jika penghasilan LN berasal dari beberapa negara
PT Kartika berkedudukan di Jakarta pada tahun pajak 2006 memperoleh penghasilan bersih sebagai berikut:
–         di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp200.000.000 (tarif pajak yang berlaku 25%)
–         di negara B memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang berlaku 30%)
–         di negara C memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp400.000.000 (tarif pajak yang berlaku 40%)
–         di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp100.000.000
  1. menghitung total penghasilan kena pajak:
penghasilan dari negara A                                             Rp   200.000.000
penghasilan dari negara B                                              Rp   300.000.000
penghasilan dari negara C                                             Rp   400.000.000
penghasilan dari dalam negeri                            Rp   100.000.000
total penghasilan kena pajak                              Rp1.000.000.000
  1. menghitung total PPh terutang
10% x Rp50.000.000 =                                               Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000 =                                               Rp    7.500.000
30% x Rp900.000.000 =                                             Rp270.000.000
Total pajak terutang                                          Rp282.500.000
  1. menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan
dari negara A = (Rp200.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp56.500.000
dari negara B = (Rp300.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp84.750.000*
dari negara C = (Rp400.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp113.000.000*
  1. menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN
PPh terutang di negara A = 20% x Rp200.000.000 = Rp  40.000.000*
PPh terutang di negara B = 30% x Rp300.000.000 = Rp  90.000.000
PPh terutang di negara C = 40% x Rp400.000.000 = Rp160.000.000
Dari perhitungan di atas kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah
Dari negara A                           Rp  40.000.000
Dari negara B                           Rp  84.750.000
Dari negara C                           Rp113.000.000
Total kredit pajak LN               Rp237.750.000
Pengurangan/pengembalian pajak penghasilan luar negeri
Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di LN, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada kredit pajak LN semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wp dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau pengembalian tersebut.
Perubahan besarnya penghasilan luar negeri
Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dikumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
  1. jika karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang terutang di LN menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak penghasilan di Indonesia juga kurang bayar. Sesuai dengan pasal 8 UU No. 16 tahun 2000 tentang ketentuan Umum dan tatacara perpajakan, apabila WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
  2. Apabila karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar, yang akan mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil, sehingga pajak penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Contoh:
Berikut ini data yang berhubungan dengan penghitungan PPh pasal 24 pada tahun 2006:
– penghasilan di luar negeri (sesuai SPT)                                    Rp   800.000.000
– penghasilan dari dalam negeri                                      Rp1.000.000.000
– penghasilan di luar negeri (setelah koreksi di luar negeri)   Rp1.000.000.000
– tarif pajak di luar negeri                                                          40%
– PPh pasal 25                                                                          Rp200.000.000
SPT disampaikan pada 30 Maret 2007 dan pembetulan dilakukan pada bulan mei 2007.
PPh sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut:
SPT Pembetulan
Penghasilan Luar Negeri       800.000.000 Penghasilan DN                 1.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak     1.800.000.000
PPh terutang:
10% x 50.000.000          =     5.000.000
15% x 50.000.000          =     7.500.000
30% x 1.700.000.000     = 510.000.000
PPh terutang                      522.500.000
Kredit pajak LN=
(0,8M : 1,8 M) x
522.500.000=                    232.222.222
Harus di bayar
di Indonesia                      290.277.778
PPh Psl 25                         200.000.000
PPh Psl 29                           90.277.778
Penghasilan LN         1.000.000.000 Penghasilan DN      1.000.000.000
Penghasilan KP         2.000.000.000
PPh terutang:
10% x 50.000.000 =          5.000.000
15% x 50.000.000 =          7.500.000
30% x 1.900.000.000 = 570.000.000
PPh terutang                  582.500.000
Kredit pajak LN:
(1M : 2M) x
582.500.0                                            291.250.000
PPh di bayar di Ind       291.250.000
PPh psl 25                     200.000.000
PPh psl 29                       91.250.000
Masih harus dibayar:
– kekurangan psl 29             972.222
– bunga 2×2%x972.222      38.888,88
1.011.110,88












Latihan 1
PT ABC pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Penghasilan beruba laba usaha di dalam negeri Rp300.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara A Rp200.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara B Rp400.000.000 dan rugi usaha dari negara C Rp250.000.000. Jika tarif pajak yang berlaku di negara A, B dan C masing-masing 20%, 30% dan 40%. Hitung PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia!
  1. menghitung total penghasilan kena pajak:
penghasian dari DN                              Rp300.000.000
penghasilan dari neg A              Rp200.000.000
penghasilan dari negara B                      Rp400.000.000
total penghasilan kena pajak                  Rp900.000.000
  1. menghitung total pajak terutang
10% x Rp50.000.000                           Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000                           Rp    7.500.000
30% x Rp800.000.000             Rp240.000.000
Total pajak terutang                              Rp252.500.000
  1. menhitung maksimal kredit pajak yang diperbolehkan:
di neg A = (200.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp  56.111.106
di neg B = (400.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp112.222.212
  1. pajak yang dibayarkan atau terutang di LN:
di Negara A     20% x Rp200.000.000 Rp  40.000.000
di Negara B      30% x Rp400.000.000             Rp120.000.000
dari perhitungan di atas maka kredit pajak (PPh pasal 24) adalah:
dari Neg A Rp  40.000.000
dari Neg B Rp112.222.212
total            Rp 152.222.212
Latihan 2
PT Kartika pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
– dari laba usaha di dalam negeri                       Rp500.000.000
– dari negara A berupa laba usaha                     Rp250.000.000
– dari negara B rugi                                          Rp400.000.000
– dari negara C berupa laba usaha                     Rp300.000.000
Hitung PPh pasal 24 jika tarif pajak di negara A, B dan C masng-masing 20%, 25% dan 35%
  1. menghitung total penghasilan kena pajak
penghasilan dari dalam negeri    Rp   500.000.000
penghasilan dari negara A                     Rp   250.000.000
penghasilan dari negara C                     Rp   300.000.000 (+)
total penghasilan kena pajak                  Rp1.050.000.000
  1. menghitung total pajak terutang
10% x Rp50.000.000                           Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000                           Rp    7.500.000
30% x Rp950.000.000             Rp285.000.000 (+)
Total pajak terutang                              Rp297.500.000
  1. menghitung maksimal pajak yang dapat dikreditkan
–         dari negara A = (250.000.000 : 1.050.000.000) x Rp297.500.000 = Rp70.833.332
–         dari negara C = (300.000.000 : 1050.000.000) x Rp297.500.000 = Rp85.000.000
  1. menghitung pajak yang dipotong atau dibayar di luar negeri
dari neg A        20% x Rp250.000.000             Rp50.000.000
dari negara C    35% x Rp300.000.000             Rp105.000.000
dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia adalah:
– dari negara A                                                                         Rp  50.000.000
– dari negara C                                                                         Rp  85.000.000 (+)
Total kredit pajak pasal 24                                           Rp135.000.000

Minggu, 10 April 2016

Pajak Penghasilan Final atau Tidak Final (PPh) ?

Pajak Penghasilan Final atau Tidak Final (PPh) ?

Pajak Penghasilan Final (PPh Final)
Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang akan tetapi merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya.
Pengenaan PPh secara final mengandung arti bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang dikenakan, baik yang dipotong fihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang dikenakan PPh final ini tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan-penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan tertentu dengan pertimbangan kesederhanaan, kemudahan, serta pengawasan.Pengenaan PPh Final sebagian berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini. Namun demikian, ada juga pengenaan PPh final berdasarkan Pasal lain yaitu Pasal 15, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang PPh.
Dengan demikian maka penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh final) ini tidak akan dihitung lagi Pajak Penghasilannya pada SPT Tahunan dengan penghasilan lain yang non final untuk dikenakan tarif progresssif (pasal 17 UU PPh). Namun atas pelunasan pemotongan atau pembayaran PPh final tersebut juga bukan merupakan kredit pajak pada SPT Tahunan.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah sebagai berikut:
  • Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
  • Jumlah PPh Final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan pada SPT Tahunan.
  • Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan
Pertimbangan penerapan PPh Final:
  • Penyederhanaan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha
  • memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak.
Perbedaan Pajak Penghasilan yang bersifat Final dan Tidak Final
No. Pajak Penghasilan Tidak Final Pajak Penghasilan Final
  1. Pajak Penghasilan dihitung dari Penghasilan netto yaitu penghasilan bruto ± biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan Pajak Penghasilan dihitung dari penghasilan bruto tanpa memperhitungkan biaya-biaya untuk memperoleh, managih dan memelihara penghasilan
  2. Dikenakan tarif umum progressif (Pasal 17 UU PPh) Dikenakan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah atau KepMen.
  3. Jumlah PPh yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri dapat dikreditkan pada SPT Tahunan Jumlah PPh yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan pada SPT Tahunan 4 biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto 5 Dalam keadaan rugi Wajib Pajak tidak membayar Pajak Penghasilan bahkan kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga ke 5 (lima) tahun pajak berikutnya.
Dalam keadaan rugi Wajib Pajak tetap membayar Pajak Penghasilan karena pengenaan pajak dikenakan pada penghasilan bruto dan bukan penghasilan netto.
Beberapa kategori penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah sebagai berikut:
  1. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
  2. Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan
  3. Penghasilan dari hadiah atas undian
  4. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
  5. Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan.
  6. Penghasilan atas bunga atau diskonto obligasi yang diperdagangkan dibursa efek
  7. Penghasilan atas jasa konstruksi
  8. Penghasilan atas perusahaan pelayaran dalam negeri
  9. Penghasilan atas perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri.
  10. Penghasilan BUT perwakilan dagang asing di Indonesia
  11. Penghasilan atas selisih lebih revaluasi aktiva tetap
  12. Penghasilan atas penjualan hasil produksi pertamina
  13. Penghasilan atas bunga simpanan anggota koperasi
  14. Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha.
  15. Penghasilan atas diskonto surat perbendaharaan negara
  16. Penghasilan atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa.
  17. Penghasilan atas deviden yang diterima oleh Orang Pribadi dalam negeri.
Tidak Termasuk Objek Pajak
1. a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak ybs;
2. Warisan;
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang di terima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi Dwiguna dan asuransi beasiswa;
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP Dalam Negeri,koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
– dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
– bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
– merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
– sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Bagaimana Cara Menghitung Tarif Retribusi Daerah

Bagaimana Cara Menghitung Tarif Retribusi Daerah? www.poltekapi.ac.id
Dalam kegiatan sehari-sehari, kerap kali kita dihadapkan pada layanan jasa pemerintah daerah yang dikompensasi dengan Retribusi Daerah. Saat parkir di tepi jalan, pengguna jasa diminta untuk membayar Retribusi. Kala sakit dan membutuhkan layanan jasa pengobatan dari puskesmas atau RSUD, pasien diminta untuk membayar Retribusi. Pengemudi bis kota atau angkot saat menggunakan jasa terminal, akan diminta membayar karcis retribusi. Masyarakat yang membangun rumahnya, dan diwajibkan untuk memiliki IMB, maka akan diminta membayar Retribusi.

Mungkin akan terlintas pertanyaan bagi para pengguna layanan jasa yang disediakan Pemerintah Daerah, apa dasar penetapan harga yang ditetapkan dalam tarif Retribusi Daerah? Dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dijelaskan mengenai panduan bagi Pemerintah Daerah dalam penetapan tarif Retribusi Daerah. Pada prinsipnya tarif Retribusi muncul dari perhitungan biaya yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam penyediaan jasa tersebut. 

Dalam penetapan tarif Retribusi, metode perhitungan tarif Retribusi Daerah dapat diklasifikasikan atas penggolongan jenis Retribusi, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.


1. Retribusi Jasa Umum

Contoh Retribusi Jasa Umum sebagai berikut:
  1. Retribusi Pelayanan Kesehatan
  1. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
  1. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil
  1. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
  1. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
  1. Retribusi Pelayanan Pasar
  1. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
  1. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
  1. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
  1. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
  1. Retribusi Pengolahan Limbah Cair
  1. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
  1. Retribusi Pelayanan Pendidikan
  1. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. 
Penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan jasa yang disediakan. Biaya penyediaan jasa layanan meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. Apabila penetapan tarif sepenuhnya dikalkukalsi dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.

Misalnya, tarif retribusi rawat inap di RSUD. Perhitungan biaya dapat dikalkulasi dengan memperhitungan biaya material, biaya upah yang terkait dengan layanan rawat inap, kemudian biaya tidak langmengkalkulasi biaya material seperti biaya makan, biaya listrik, dan biaya operasional lainnya. Maka biaya-biaya seperti biaya kebersihan, biaya laundry, biaya listrik, biaya satuan atas penggunaan ruangan dan tempat tidur, serta biaya-biaya lainnya. Setelah dikalkulasi misal didapat nilai total Biaya Rp100, maka tarif Retribusi harus di bawah dari kalkulasi total biaya karena dalam klasifikasi Retribusi Jasa Umum hanya untuk menutup sebagian biaya.

2. Retribusi Jasa Usaha

Contoh retribusi jasa usaha adalah sebagai berikut:
  1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
  1. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan
  1. Retribusi Tempat Pelelangan
  1. Retribusi Terminal
  1. Retribusi Tempat Khusus Parkir
  1. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
  1. Retribusi Rumah Potong Hewan
  1. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
  1. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
  1. Retribusi Penyeberangan di Air
  1.  Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Adapun yang dimaksud dengan keuntungan yang layak  adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Misalnya, setelah dilakukan perhitungan total biaya diperoleh nilai Rp100, maka Pemerintah Daerah dapat menetapkan tarif retribusi di atas biaya yang secara estimasi akan dikeluarkan. Apabila margin pasar berlaku misalnya 20% atas biaya, maka Pemda dapat menetapkan tarif Retribusi senila Rp120,- 

3. Retribusi Perizinan Tertentu

Jenis retribusi perizinan tertentu adalah sebagai berikut:
  1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
  1. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
  1. Retribusi Izin Gangguan
  1. Retribusi Izin Trayek
  1. Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.

Dalam klasifikasi Retribusi ini, penyelenggaraan izin tidak hanya menghitung biaya administrasi izin saja (kertas, tinta dll). Biaya-biaya seperti monitoring atas pemenuhan ketentuan, biaya survey, biaya sidak, dan biaya-biaya dampak negatif yang dikuantifikasi dapat disertakan dalam perhitungan tarif Retribusi ini.

Contoh Retribusi Jasa Umum, Jasa Usaha, dan Perizinan Tertentu dapat dilihat di sini

Seri PPh - Bentuk Usaha Tetap

Seri PPh - Bentuk Usaha Tetap

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
  1. tempat kedudukan manajemen;
  2. cabang perusahaan;
  3. kantor perwakilan;
  4. gedung kantor;
  5. pabrik;
  6. Bengkel;
  7. Gudang;
  8. ruang untuk promosi dan penjualan;
  9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
  10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
  12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  13. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  15. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia;dan
  16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Contoh BUT :
adalah Perusahaan dari China yang memenangkan tender pembangunan PLTU maka untuk membangun PLTU tersebut perusahaan dari China mendirikan BUT yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut, setelah selesai maka BUT tersebut bubar dan mengajukan penghapusan NPWP.
Dasar Hukum : Pasal 2 UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Sabtu, 02 April 2016

Penggelapan Pajak di Riau


Ditjen Pajak Jemput Paksa Tersangka Penggelapan Pajak di Riau

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, melalui penyidik di Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau menjemput paksa tersangka kasus pengelapan pajak berinisial AP. Dari kasus ini, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp 5 miliar.

"Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau menjemput paksa AP pada Rabu (18/12/2013)," kata Kepala Seksi Hubungan Eksternal DJP Kemenkeu, Chandra Budi dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (27/12/2013).

Selanjutnya, tambah dia, pihaknya dibantu oleh Korwas PPNS Polri melakukan penangkapan dan penahanan tersangka “AP”.

Chandra menjelaskan, tindak pidana perpajakan yang dilakukan “AP” menyangkut bidang perdagangan alat-alat elektronik. AP, menurutnya, melaporkan isi Surat Pemberitahuan (SPT) secara tidak benar.

"Dia melaporkan omzet yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya untuk tahun pajak 2005 sampai dengan 2008.  Atas perbuatannya itu, diperkirakan negara mengalami kerugian sebesar Rp 5 miliar.

Sebelumnya, tersangka “AP” tidak kooperatif terhadap pemanggilan Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau dalam rangka melengkapi keterangan tambahan yang diperlukan oleh Jaksa Peneliti.

Setelah dua kali tidak memenuhi panggilan tanpa alasan, selanjutnya penyidik berkoordinasi dengan Korwas PPNS Polri dalam rangka permohonan bantuan membawa dan menghadapkan tersangka “AP” kepada Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau.

"Langkah ini menunjukkan kesungguhan Ditjen Pajak dalam rangka melaksanakan penegakan hukum di bidang perpajakan.  Selain itu, terungkapnya kasus ini diharapkan juga mampu memberikan efek jera kepada seluruh Wajib Pajak lainnya sehingga kepatuhannya akan semakin meningkat," tandas Chandra. (Fik/Ndw)

contoh kartu NPWP







www.poltekapi.ac.id

TATA CARA PENDAFTARAN NPWP

TATA CARA PENDAFTARAN NPWP ONLINE DENGAN SISTEM e-REGISTRATION



alur prosedur pendaftaran NPWP melalui e-Registration
e-Registration atau Sistem Pendaftaran Wajib Pajak secara Online adalah sistem aplikasi bagian dari Sistem Informasi Perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dengan berbasis perangkat keras dan perangkat lunak yang dihubungkan oleh perangkat komunikasi data yang digunakan untuk mengelola proses pendaftaran Wajib Pajak.
Sistem ini terbagi dua bagian, yaitu sistem yang dipergunakan oleh Wajib Pajak yang berfungsi sebagai sarana pendaftaran Wajib Pajak secara online dan sistem yang dipergunakan oleh Petugas Pajak yang berfungsi untuk memproses pendaftaran Wajib Pajak.
Untuk melakukan pendaftaran Orang Pribadi lewat aplikasi e-Registration, berikut beberapa hal yang perlu disiapkan:

  1. bekali diri anda dengan pengetahuan tentang pendaftaran Wajib Pajak dengan membaca PER-20/PJ/2013 dan PER-38/PJ/2013.
  2. koneksi internet yang stabil;
  3. email yang valid;
  4. persyaratan pendaftaran; aplikasi ini telah mengakomodir pengiriman syarat dan lampiran secara online. Siapkan persyaratan yang telah discan sebelum melakukan pendaftaran dan simpan dalam folder yang mudah diakses ketika anda melakukan pendaftaran.Jika anda ingin mengirimkan pendaftaran secara manual (via pos) atau ingin mengantar sendiri, siapkan printer untuk melakukan pencetakan Surat Pengiriman Dokumen (SPD)
  5. NPWP suami; khusus untuk pendaftaran wanita yang telah menikah, diwajibkan untuk menginput NPWP suami

Untuk memulai pendaftaran NPWP secara online silahkan klik https://pajak.go.id/.
halaman utama (home) www.pajak.go.id, untuk pendaftaran NPWP online klik e-Reg (tanda lingkaran merah)
Untuk Melakukan Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi, berikut beberapa urutan langkah-langkah yang harus dilakukan:
  1. Registrasi Akun ( dilakukan untuk memperoleh akun yang dapat digunakan untuk mengakses aplikasi eRegistration);
  2. Input Formulir ( Mengisi data formulir sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor : PER-20/PJ/2013 sebagaimana telah diubah terakhir PER-38/PJ/2013);
  3. Kirim Permohonan ( Mengirim data Formulir elektronik yang telah terisi dengan lengkap dan benar).
1. Registrasi Akun   
  1. Wajib pajak harus mendapatkan akun (Registrasi) terlebih dahulu untuk dapat mengakses aplikasi aplikasi eRegistration;
  2. Langkah langkah untuk mendapatkan akun adalah sebagai berikut:

  • isilah setiap kolom, hanya email valid yang dapat digunakan untuk keperluan aktivasi atas permohonan akun ini; 
  • lakukan aktivasi via email yang anda isikan dalam pendaftaran, klik link yang ada pada email anda, anda akan diarahkan untuk log in;

2. Input Formulir
Previous pageReturn to chapter overviewNext page
Menu ini digunakan  mengisi formulir pendaftaran secara elektronik. 
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengisian formulir ini adalah sebagai berikut:
  1. Login menggunakan akun yang telah anda buat
  2. isi semua data dalam kolom pendaftaran untuk memperkaya data yang nantinya diperlukan untuk kepentingan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan anda;
  3. isikan semua data dalam kolom pendaftaran dengan lengkap dan benar;
  4. pastikan untuk membaca kembali isian formulir permohonan dengan mengklik next atau klik back bila anda telah berada di halaman berikutnya;
3. Kirim Permohonan

Menu ini digunakan untuk mengirimkan formulir yang telah anda isi. 


Berikut langkah-langkahnya:
  1. setelah menyelesaikan pengisian formulir pendaftaran, anda akan langsung diarahkan ke halaman dashboard history pendaftaran. klik salah satu simbol loop disebelah kanan untuk meminta token. Token akan dikirimkan via email;
  2. cek inbox email yang sebelumnya anda isikan di formulir pendaftaran. buka kembali dashboard history pendaftaran dan klik satu simbol loop disebelah kanan untuk mengirimkan pendaftaran; 
  3. centang pernyataan sebagai tanda anda telah memahami hak dan kewajiban anda sebagai Wajib Pajak; 
  4. salinlah nomor token dalam kolom yang telah disediakan lalu klik tombol kirim; 
  5. cek email dan dashboard history pendaftaran dan pastikan status pendaftaran anda adalah "kirim" untuk memastikan permohonan anda telah terkirim.
Untuk memonitoring status pendaftaran, anda dapat login kembali ke aplikasi eRegistration atau cek inboxemail.
Berikut status di dashboard history e-Registration pendaftaran:
  1. LENGKAP, status ini menunjukkan bahwa anda sedang melakukan pengisian formulir namun belum selesai atau belum dilakukan pengiriman;
  2. KIRIM, status ini menunjukkan bahwa anda telah berhasil melakukan pengiriman fomulir;
  3. DISETUJUI, status ini menunjukkan bahwa permohonan anda untuk mendapatkan NPWP telah dikabulkan. anda tinggal menunggukartu NPWP dan Surat keterangan Terdaftar (SKT) yang akan dikirimkan via pos;
  4. DITOLAK, status ini menunjukkan bahwa permohonan anda ditolak. cek email anda untuk mengetahui alasan penolakan atau hubungi Kantor Pelayanan Pajak  (KPP) sesuai alamat tempat tinggal yang anda isi dalam formulir pendaftaran.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi Kring Pajak di 500200.

Jumat, 01 April 2016

gambar pengisian spt masa








www.poltekapi.ac.id

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

www.poltekapi.ac.id


Pajak Reklame

Tidak sedikit pelaksanaan pajak daerah dan retribusi daerah, menjadi isu dan perbincangan nasional di media. Semula hanya 'sekedar' melaksanakan ketentuan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, namun tiba-tiba menjadi bola panas, mencuat dalam isu perpolitikan yang hangat. 
Salah satunya adalah pelaksanaan pemungutan Pajak Reklame. Terkait pelaksanaan Pajak Reklame ini, setiap Kepala Daerah perlu menetapkan sebuah produk Peraturan Kepala Daerah yang menjadi opsi acuan perhitungan penetapan kewajiban Pajak Reklame. Tatkala Walikota Surabaya, Tri Rismaharini yang kerap disapa Ibu Risma, menetapkan Peraturan Walikota Surabaya mengenai Nilai Sewa Reklame, membuat terperanjat para pengusaha Reklame di Kota Surabaya. Dengan dasar ketetapan baru tersebut, pengusaha reklame akan dikenai kenaikan Pajak Reklame bila dibandingkan dengan penetapan Pajak Reklame sebelumnya. Hal ini yang akhirnya dijadikan 'amunisi' bagi DPRD Kota Surabaya untuk memunculkan usulan pemakzulan (penon-aktifan) Risma dari tampuk Walikota Surabaya. Namun pada akhirnya upaya pemakzulan tidak berhasil, bahkan beberapa pengusul impeachment ada yang mengalami recall dari kedudukannya sebagai anggota DPRD Kota Surabaya.
Definisi
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum. 

Berkenaan dengan definisi tersebut, maka reklame dengan redaksi pesan yang tidak ditujukan untuk tujuan komersial tidak menjadi ruang lingkup pengenaan Pajak Reklame, seperti iklan layanan masyarakat, iklan keagamaan, iklan penyelenggaraan politik nasional dan lain-lain.

Bagaimana dengan iklan seperti ini? :)

Objek Pajak 
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame, meliputi:
  1. Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
  2. Reklame kain;
  3. Reklame melekat, stiker;
  4. Reklame selebaran;
  5. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
  6. Reklame udara;
  7. Reklame apung;
  8. Reklame suara;
  9. Reklame film/slide; dan
  10. Reklame peragaan. 
Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah:
  1. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
  2. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
  3. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
  4. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
  5. Penyelenggaraan Reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Fiskus maupun Wajib Pajak banyak yang tidak mengetahui pengecualian objek pajak terkait nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha usaha. Kerap kali terjadi Pemerintah Daerah tetap mengenakan Pajak Reklame pada reklame walaupun pemasangannya menempel pada bangunan usaha.

Ilustrasi mengenai pengecualian objek dimaksud, dapat dilihat pada gambar berikut ini. Pada reklame yang mana akan menjadi pengecualian objek Pajak Reklame?


Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame. Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame. 
Penyelenggaraan reklame dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

  1. Diusahakan sendiri, yaitu dari proses desain, produksi, izin serta proses pemasangannya diupayakan sendiri oleh pihak (orang/badan) yang mengiklankan produknya. Apabila cara seperti ini yang dilakukan maka subjek pajak dan wajib pajak adalah orang atau badan itu sendiri.
  2. Diselenggarakan melalui pihak ketiga, yaitu pihak yang mengiklankan produknya melakukan kerjasama pembuatan dan pemasangan pada pihak ketiga antara lain agensi periklanan. Maka Subjek Pajaknya adalah pihak yang mengiklankan produk, sedangkan pihak ketiga sebagai Wajib Pajak Reklame.
Perhitungan Pajak Terutang
Pemungutan pajak reklame termasuk dalam jenis pajak official assessment, sehingga penetapan pajak terutang dilakukan oleh pemerintah daerah. 

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

Tarif Pajak
Tarif pajak reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling tinggi 25%.

Dasar Pengenaan Pajak

  1. Apabila penyelenggaraan reklame dilakukan oleh pihak ketiga, maka dasar pengenaan pajak dilakukan berdasarkan nilai kontrak pembuatan dan pemasangan reklame. Namun bila Pemerintah Daerah tidak mengetahui nilai kontrak atau dianggap tidak wajar, maka Pemerintah Daerah dapat menggunakan Nilai Sewa Reklame sebagai acuan perhitungan.
  2. Apabila penyelenggaraan reklame diusahakan sendiri, maka Dasar Penggunaan Pajak menggunakan Nilai Sewa Reklame.

Nilai Sewa Reklame (NSR)
Nilai Sewa Reklame ditetapkan dalam Peraturan Bupati/Walikota yang menguraikan nilai komponen perhitungan pajak terutang beserta tata cara perhitungannya. Nilai Sewa Reklame dapat memperhitungkan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran media reklame. 

Bila melihat rumus perhitungan pajak reklame, tarif pajak bukanlah satu-satunya yang menjadi komponen dominan besaran pajak reklame. Apabila terjadi ketetapan tarif pajaknya kecil, namun  Nilai Sewa Reklamenya menggunakan satuan nilai rupiah yang tinggi, maka pajak terutang akan tetap relatif tinggi.

Senin, 15 Februari 2016


Pajak Restoran

Pernahkah mendengar atau membaca istilah 'Pajak Warteg'? Apabila Anda cari terminologi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka tidak akan ditemukan istilah tersebut dalam undang-undang dimaksud yang menjadi referensi untuk mengatur pemungutan Pajak Daerah. Namun bila Anda cari istilah itu di dunia maya, maka akan tersajikan berita yang hangat di kurun waktu tahun 2013, saat penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pajak Restoran.

Pada hakikatnya Pajak Warteg yang dibicarakan saat itu adalah penyusunan ketentuan pengenaan Pajak Restoran yang tidak hanya dikenakan pada bisnis restoran yang dipersepsikan oleh masyarakat umum pada skala restoran menengah ke atas, namun akan terikutkan rumah makan skala menengah ke bawah yang disebabkan adanya usulan penetapan kebijakan yang ditetapkan dalam perda yaitu omzet penjualan restoran. 

Definisi

Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. 
Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.

Objek Pajak

Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran. Pelayanan yang disediakan Restoran meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Berdasarkan ketentuan ini, maka layanan antar (delivery service) atau pemesanan dibawa (take away order), tetap dikenakan Pajak Restoran walaupun tidak menikmati fasilitas sarana restoran.

Tidak termasuk objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dengan ketentuan pengecualian objek Pajak ini, maka tiap kabupaten/kota harus menetapkan besaran omzet usaha restoran yang tidak dikenakan Pajak Restoran.
Omzet restoran yang dikecualikan dari objek Pajak Restoran ditetapkan oleh masing-masing Pemda dengan besaran yang berbeda. Misalnya Pemprov DKI Jakarta semula menetapkan besaran omzet dalam rancangan Perda Pajak restoran senilai Rp60.000.000,00 per tahun atau bila dihitung dalam satuan per hari hanya sebesar Rp170.000,00. Kontroversi di media terjadi karena dengan besaran seperti itu, banyak usaha kuliner atau warung tegal yang akan masuk menjadi Wajib Pajak. Akhirnya diputuskan besaran omzet yang dikenakan Pajak Restoran sebesar Rp200.000.000 per tahun. 

Berita terkait:
http://metro.news.viva.co.id/news/read/191861-dki-data-warteg-beromzet-rp60-juta
http://news.detik.com/berita/2379150/soal-pajak-warteg-jokowi-kayak-kita-kurang-objek-pajak-saja

Berikut besaran penetapan minimal omzet Pajak Restoran beberapa kabupaten/kota:

Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran. Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran. 
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dimaknai Subjek Pajak Restoran adalah orang yang terkena pungutan Pajak yaitu konsumen restoran. Sedangkan yang berkedudukan sebagai Wajib Pajak adalah pengusaha restoran.

Penghitungan Pajak Terutang
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran. Service charge yang dikenakan pada konsumen restoran juga masuk dalam perhitungan Dasar Pengenaan Pajak.
Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10%Tarif Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah di masing-masing kabupaten/kota.
Pajak Terutang = Dasar Pengenaan Pajak  x Tarif Pajak

Contoh:

Apabila singgah di RM d"Bundo ini, lalu memilih Paket Rp12.000 (termasuk pajak restoran) untuk dibawa pulang, maka berapa pajak terutang atas pembelian paket tersebut, dengan tarif Pajak yang ditetapkan Pemerintah Kota sebesar 10%?

Jawaban
Banyak yang akan menjawab pertanyaan ini dengan mengalikan langsung tarif dengan harga jual (Rp1,200 = 10% x Rp12.000). Namun dengan jawaban ini dapat dicek kebenarannya, apakah dasar pengenaan pajak yang merupakan selisih harga jual dengan pajak terutang adalah sebesar 10%?


Rp1.200 = 10% x Rp10.800

Maka jawaban yang tepat adalah dengan perhitungan sebagai berikut:

1/11 x Rp12.000 = Rp1.091

Kamis, 11 Februari 2016


Pajak Hotel

Dalam persepsi sebagian orang, Pajak Hotel hanya dikenakan hanya sebatas pada biaya penginapan. Bila kita melihat pada ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, biaya-biaya lain yang dikenakan pada aktifitas hotel, seperti layanan hiburan, juga termasuk dalam komponen Pajak Hotel.

Definisi
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. 
Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). 
Objek Pajak 
Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. Yang dimaksud dengan jasa penunjang adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel. 
(Pasal 32 ayat (3) UU 28 Tahun 2009)
Mengacu pada ketentuan tersebut, apabila ada fasilitas hiburan yang menyatu sebagai fasilitas Hotel, seperti diskotek, spa, fitness center dll, maka dapat dikenakan Pajak Hotel. Silang pendapat dapat terjadi antara pemerintah daerah sebagai fiskus dengan pengusaha hotel yang terdapat fasilitas hiburan yang disebabkan tarif Pajak Hiburan dapat dikenakan sampai 75%, sedangkan Pajak Hotel hanya dapat dikenakan maksimal 10%. 

Tidak termasuk objek Pajak Hotel adalah: 
  1. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; 
  2. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya. Pengecualian didasarkan atas izin usahanya. 
  3. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan; 
  4. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan 
  5. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum. 
Subjek dan Wajib Pajak Hotel
Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. 
Secara sederhana, yang dimaksud dengan Subjek Pajak Hotel adalah pihak yang mengeluarkan uang untuk pembayaran Pajak, yaitu Konsumen Hotel. Sedangkan Wajib Pajak adalah pengusaha Hotel yang berkewajiban untuk melaporkan kepada Pemerintah Daerah mengenai pemungutan Pajak yang telah dilakukan.
Perhitungan Pajak Terutang
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel. Kata 'yang seharusnya dibayar' dapat dimaknai dengan pemberian voucher gratis menginap dan yang sejenisnya.
Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Hotel yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan dasar pengenaan pajak.
Pajak Terutang = Tarif Pajak Hotel x Dasar Pengenaan Pajak

Contoh:
Berdasarkan data harga yang diambil dari web penyedia pemesanan hotel untuk harga kamar JW Marriot Jakarta untuk tanggal 13/02/2016, diperoleh harga harga kamar Rp2.011.807, yang merupakan harga diskon dari Rp3.674.858. Lalu berapakah pajak terutang apabila konsumen menginap 2 malam bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan tarif Pajak Hotel 10%? 
Jawab.
Dalam contoh tersebut, konsumen akan membayar senilai Rp2.011.807 net tanpa membayar tambahan apapun termasuk pajak hotel. Maka dapat disimpulkan bahwa harga tersebut termasuk Pajak Hotel. Bila ditanyakan berapa pajak hotel terutang, maka seringkali dijawab dengan perhitungan:
Pajak terutang = 10% x (2 x Rp2.011.807) = Rp402.361
Jawaban ini salah karena mengalikan berdasarkan harga jual, bukan atas dasar pengenaan pajaknya. Silahkan ditest apakah Rp402.361 merupakan 10% x (2.011.807-402.361)?

Maka jawaban yang tepat adalah
Pajak terutang = 1/11 x (2 malam x Rp2.011.807).

Senin, 08 Februari 2016


Insentif Pemungutan PDRD

Pernah membaca atau mendengar berita pendapatan sebagai Kepala/Wakil Kepala Daerah diinfokan sangatlah minim, seakan tidak berimbang dengan tanggung jawab mereka yang sangat besar? Berita itu mungkin hanya melihat dari besaran komponen gaji pokok saja, padahal ada komponen lain yang akan diterima sebagai kepala daerah karena kedudukannya sebagai penanggung jawab pengelolaan keuangan daerah, yaitu melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Dasar Hukum
Dalam pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), ada instrumen yang ditujukan untuk mendorong dan memotivasi pemungut PDRD agar mengoptimalkan kinerja pemungutannya, yaitu pemberian insentif pemungutan.

Dalam Pasal 171 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dicantumkan ketentuan sebagai berikut:
  1. Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan  Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja 
  2. Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 
  3. Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
Untuk peraturan pelaksanaan, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

Perbedaan dengan Upah Pungut
Pada pelaksanaan Undang-Undang sebelumnya, pemberian serupa diberikan dalam bentuk upah pungut. Perbedaan insentif pemungutan dengan upah pungut adalah pemberian insentif pemungutan berbasis kinerja, sedangkan upah pungut diberikan tanpa mempertimbangkan apakah kinerja yg ditetapkan dapat tercapai atau tidak. Selain itu, pada pelaksanaan pemberian upah pungut terkadang diberikan pada pihak-pihak yang tidak berhubungan langsung dengan pemungutan PDRD.

Penerima Insentif Pemungutan
Insentif pemungutan secara proporsional dapat diberikan pada:
  • pejabat dan pegawai Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan Retribusi sesuai dengan tanggung jawab masing. Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan Retribusi yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah dinas/badan/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi. Dengan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan insentif pemungutan diberikan untuk keseluruhan personil dinas/badan/lembaga yang melaksanakan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, tentu dengan mempertimbangkan kontribusi dan tanggung jawab masing-masing personil.
  • kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai penanggung jawab pengelolaan keuangan 
  • sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan 
  • pemungut Pajak Bumi dan Bangunan pada tingkat desa/kelurahan dan kecamatan, kepala desa/lurah atau sebutan lain dan camat, dan tenaga lainnya yang ditugaskan oleh Instansi Pelaksana Pemungut Pajak. Yang dimaksud dengan “tenaga lainnya” adalah tenaga yang mendapat penugasan dari Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan Retribusi untuk membantu pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.
  • pihak lain yang membantu Instansi Pelaksana pemungut Pajak dan Retribusi yaitu antara lain Kepolisian Daerah dalam pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
Pagu Anggaran Insentif Pemungutan
Insentif pemungutan dapat dialokasikan dalam APBD paling tinggi sebesar 3% untuk provinsi, dan 5% untuk kabupaten/kota, dari rencana penerimaan Pajak dan Retribusi dalam tahun anggaran berkenaan untuk tiap jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pembayaran Insentif Pemungutan
Pencairan insentif pemungutan dilakukan berdasarkan realisasi target pendapatan PDRD yang tercantum dalam APBD. Persentase target penerimaan PDRD yang menjadi basis pencairan insentif pemungutan ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah. Pemberian insentif pemungutan dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Contoh
Berdasarkan Keputusan Kepala Daerah ditetapkan target penerimaan per jenis Pajak dan Retribusi sebagai berikut
  • sampai dengan triwulan I        : 15% (lima belas perseratus
  • sampai dengan triwulan II       : 40% (empat puluh perseratus
  • sampai dengan triwulan III      : 75% (tujuh puluh lima perseratus)
  • sampai dengan triwulan IV     : 100% (seratus perseratus)

Atas penetapan kepala daerah tersebut, maka pembayaran insentif pemungutan dapat diimplementasikan dengan skema sebagai berikut:
  1. Apabila pada akhir triwulan I realisasi mencapai 15% (lima belas perseratus) atau lebih, Insentif diberikan pada awal triwulan II.
  2. Apabila pada akhir triwulan I realisasi kurang dari 15% (lima belas perseratus), Insentif tidak diberikan pada awal triwulan II.
  3. Apabila pada akhir triwulan II realisasi mencapai 40% (empat puluh perseratus) atau lebih, Insentif diberikan untuk triwulan I yang belum dibayarkan dan triwulan II
  4. Apabila pada akhir triwulan II realisasi kurang dari 40% (empat puluh perseratus), Insentif untuk triwulan II belum dibayarkan pada awal triwulan III.
  5. Apabila pada akhir triwulan III realisasi kurang dari 75% (tujuh puluh lima perseratus), Insentif tidak diberikan pada awal triwulan IV.
  6. Apabila pada akhir triwulan III realisasi mencapai 75% (tujuh puluh lima perseratus) atau lebih, Insentif diberikan pada awal triwulan IV.
  7. Apabila pada akhir triwulan IV realisasi mencapai 100% (seratus perseratus) atau lebih, Insentif diberikan untuk triwulan yang belum dibayarkan.
  8. Apabila pada akhir triwulan IV realisasi kurang dari 100% (seratus perseratus) tetapi lebih dari 75% (tujuh puluh lima perseratus), Insentif diberikan untuk triwulan III dan triwulan sebelumnya yang belum dibayarkan. 
Besaran Insentif Per Bulan 
Adapun besaran insentif untuk personil instansi pemungut, kepala/wakil kepala daerah, dan sekretaris daerah setiap bulannya, dikelompokkan berdasarkan realisasi penerimaan PDRD dengan ketentuan:
  1. di bawah Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), paling tinggi 6 (enam) kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat;
  2. Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp 2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus milyar rupiah), paling tinggi 7 (tujuh) kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat;
  3. di atas Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus milyar rupiah), sampai dengan Rp7.500.000.000.000,00 (tujuh triliun lima ratus milyar rupiah), paling tinggi 8 (delapan) kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat;
  4. di atas Rp7.500.000.000.000,00 (tujuh triliun lima ratus milyar rupiah), paling tinggi 10 (sepuluh) kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat.
Apabila dalam realisasi pemberian Insentif berdasarkan ketentuan terdapat sisa lebih, harus disetorkan ke kas daerah sebagai penerimaan daerah.

Adapun besarnya pembayaran Insentif untuk pemungut Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dari besaran pagu Insentif pemungutan PBB P2. Sedangkan besarnya pembayaran Insentif untuk pihak lain ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dari besaran pagu Insentif pemungutan pajak terkait. 

----------------------
Jadi, masihkah anda berpikiran penghasilan Kepala Daerah sangat kecil? :)