Kamis, 05 Mei 2016

Perhitungan Kredit pajak Luar negeri (PPh pasal 24)

Perhitungan Kredit pajak Luar negeri (PPh pasal 24)

Perhitungan Kredit pajak Luar negeri (PPh pasal 24)
PT Perdana di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2006 sebagai berikut:
Penghasilan Dalam Negeri                                 Rp400.000.000
Penghasilan dari LN (tarif pajak 20%)   Rp200.000.000
Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:
  1. menghitung total penghasilan kena pajak
penghasilan dari dalam negeri                Rp400.000.000
penghasilan dari luar negeri                                Rp200.000.000
Penghasilan neto                                   Rp600.000.000
  1. menghitung total PPh terhutang
10% x Rp  50.000.000 = Rp    5.000.000
15% x Rp  50.000.000 = Rp    7.500.000
30% x Rp500.000.000 = Rp150.000.000
Pajak terhutang             =  Rp162.500.000
  1. menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan
(penghasilan LN : total penghasilan) x total PPh terutang
(Rp200.000.000 : Rp600.000.000) x Rp162.500.000 = Rp54.166.666,61
  1. menghitung PPh yang terutang atau dipotong di LN:
20% x Rp200.000.000 = Rp40.000.000
Dari perhitungan tersebut di atas kredit pajak LN yang diperbolehkan adalah sebesar Rp40.000.000 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di LN. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di LN, kemudian dipilih jumlah yang terendah.
Penghitungan PPh pasal 24 jika terjadi kerugian usaha di dalam negeri
PT Adinda berkedudukan di Indonesia memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2006 sebagai berikut:
–         Di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp600.000.000 (tarif pajak yang berlaku adalah 30%)
–         Di dalam negeri menderita kerugian sebesar Rp200.000.000
Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:
  1. menghitung total penghasilan kena pajak
penghasilan kena pajak dari negara A    Rp600.000.000
kerugian usaha dalam negeri                              (   200.000.000)
jumlah penghasilan neto             Rp400.000.000
  1. menghitung total PPh terutang:
10% x Rp   50.000.000  =                               Rp    5.000.000
15% x Rp   50.000.000  =                               Rp    7.500.000
30% x Rp 300.000.000  =                               Rp  90.000.000
Jumlah pajak terutang                           Rp102.500.000
  1. menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan
(Rp600.000.000 : Rp400.000.000) x  Rp102.500.000 = Rp153.750.000
  1. menghitung PPh yang dipotong/dibayar di LN
30% x Rp600.000.000 = Rp180.000.000
Kredit pajak yang diperbolehkan (PPh pasal 24) adalah Rp102.500.000. jumlah ini diperoleh dengan membandingkan perhitungan PPh maksimum yang dapat dikreditkan dengan PPh yang sesungguhnya dibayarkan/terutang di LN dan total pajak yang terutang.
Perhitungan PPh pasal 24 jika terjadi kerugian usaha di LN
PT Kartika pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
–         di negara X memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang berlaku 40%)
–         di negara Y menderita kerugian sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak yang berlaku) 25%.
–         Di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp500.000.000
Perhitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
  1. menghitung penghasilan total kena pajak
penghasilan dari negara X berupa laba usaha                 Rp300.000.000
penghasilan dari dalam negeri berupa laba usaha            Rp500.000.000
jumlah penghasilan neto                                     Rp800.000.000
  1. menghitung total PPh terutang
10% x Rp50.000.000 =                                               Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000 =                                               Rp    7.500.000
30% x Rp700.000.000 =                                             Rp210.000.000
Jumlah total PPh yang terutang                          Rp222.500.000
  1. menghitung PPh maksimal yang bisa dikreditkan
(Rp300.000.000 : Rp800.000.000) x Rp222.500.000 = Rp83.437.500
  1. menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN
40% x Rp300.000.000 = Rp120.000.000
Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan adalah Rp83.437.500.
Perhitungan PPh pasal 24 jika penghasilan LN berasal dari beberapa negara
PT Kartika berkedudukan di Jakarta pada tahun pajak 2006 memperoleh penghasilan bersih sebagai berikut:
–         di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp200.000.000 (tarif pajak yang berlaku 25%)
–         di negara B memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang berlaku 30%)
–         di negara C memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp400.000.000 (tarif pajak yang berlaku 40%)
–         di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp100.000.000
  1. menghitung total penghasilan kena pajak:
penghasilan dari negara A                                             Rp   200.000.000
penghasilan dari negara B                                              Rp   300.000.000
penghasilan dari negara C                                             Rp   400.000.000
penghasilan dari dalam negeri                            Rp   100.000.000
total penghasilan kena pajak                              Rp1.000.000.000
  1. menghitung total PPh terutang
10% x Rp50.000.000 =                                               Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000 =                                               Rp    7.500.000
30% x Rp900.000.000 =                                             Rp270.000.000
Total pajak terutang                                          Rp282.500.000
  1. menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan
dari negara A = (Rp200.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp56.500.000
dari negara B = (Rp300.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp84.750.000*
dari negara C = (Rp400.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp113.000.000*
  1. menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN
PPh terutang di negara A = 20% x Rp200.000.000 = Rp  40.000.000*
PPh terutang di negara B = 30% x Rp300.000.000 = Rp  90.000.000
PPh terutang di negara C = 40% x Rp400.000.000 = Rp160.000.000
Dari perhitungan di atas kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah
Dari negara A                           Rp  40.000.000
Dari negara B                           Rp  84.750.000
Dari negara C                           Rp113.000.000
Total kredit pajak LN               Rp237.750.000
Pengurangan/pengembalian pajak penghasilan luar negeri
Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di LN, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada kredit pajak LN semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wp dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau pengembalian tersebut.
Perubahan besarnya penghasilan luar negeri
Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dikumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
  1. jika karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang terutang di LN menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak penghasilan di Indonesia juga kurang bayar. Sesuai dengan pasal 8 UU No. 16 tahun 2000 tentang ketentuan Umum dan tatacara perpajakan, apabila WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
  2. Apabila karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar, yang akan mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil, sehingga pajak penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Contoh:
Berikut ini data yang berhubungan dengan penghitungan PPh pasal 24 pada tahun 2006:
– penghasilan di luar negeri (sesuai SPT)                                    Rp   800.000.000
– penghasilan dari dalam negeri                                      Rp1.000.000.000
– penghasilan di luar negeri (setelah koreksi di luar negeri)   Rp1.000.000.000
– tarif pajak di luar negeri                                                          40%
– PPh pasal 25                                                                          Rp200.000.000
SPT disampaikan pada 30 Maret 2007 dan pembetulan dilakukan pada bulan mei 2007.
PPh sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut:
SPT Pembetulan
Penghasilan Luar Negeri       800.000.000 Penghasilan DN                 1.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak     1.800.000.000
PPh terutang:
10% x 50.000.000          =     5.000.000
15% x 50.000.000          =     7.500.000
30% x 1.700.000.000     = 510.000.000
PPh terutang                      522.500.000
Kredit pajak LN=
(0,8M : 1,8 M) x
522.500.000=                    232.222.222
Harus di bayar
di Indonesia                      290.277.778
PPh Psl 25                         200.000.000
PPh Psl 29                           90.277.778
Penghasilan LN         1.000.000.000 Penghasilan DN      1.000.000.000
Penghasilan KP         2.000.000.000
PPh terutang:
10% x 50.000.000 =          5.000.000
15% x 50.000.000 =          7.500.000
30% x 1.900.000.000 = 570.000.000
PPh terutang                  582.500.000
Kredit pajak LN:
(1M : 2M) x
582.500.0                                            291.250.000
PPh di bayar di Ind       291.250.000
PPh psl 25                     200.000.000
PPh psl 29                       91.250.000
Masih harus dibayar:
– kekurangan psl 29             972.222
– bunga 2×2%x972.222      38.888,88
1.011.110,88












Latihan 1
PT ABC pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Penghasilan beruba laba usaha di dalam negeri Rp300.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara A Rp200.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara B Rp400.000.000 dan rugi usaha dari negara C Rp250.000.000. Jika tarif pajak yang berlaku di negara A, B dan C masing-masing 20%, 30% dan 40%. Hitung PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia!
  1. menghitung total penghasilan kena pajak:
penghasian dari DN                              Rp300.000.000
penghasilan dari neg A              Rp200.000.000
penghasilan dari negara B                      Rp400.000.000
total penghasilan kena pajak                  Rp900.000.000
  1. menghitung total pajak terutang
10% x Rp50.000.000                           Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000                           Rp    7.500.000
30% x Rp800.000.000             Rp240.000.000
Total pajak terutang                              Rp252.500.000
  1. menhitung maksimal kredit pajak yang diperbolehkan:
di neg A = (200.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp  56.111.106
di neg B = (400.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp112.222.212
  1. pajak yang dibayarkan atau terutang di LN:
di Negara A     20% x Rp200.000.000 Rp  40.000.000
di Negara B      30% x Rp400.000.000             Rp120.000.000
dari perhitungan di atas maka kredit pajak (PPh pasal 24) adalah:
dari Neg A Rp  40.000.000
dari Neg B Rp112.222.212
total            Rp 152.222.212
Latihan 2
PT Kartika pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
– dari laba usaha di dalam negeri                       Rp500.000.000
– dari negara A berupa laba usaha                     Rp250.000.000
– dari negara B rugi                                          Rp400.000.000
– dari negara C berupa laba usaha                     Rp300.000.000
Hitung PPh pasal 24 jika tarif pajak di negara A, B dan C masng-masing 20%, 25% dan 35%
  1. menghitung total penghasilan kena pajak
penghasilan dari dalam negeri    Rp   500.000.000
penghasilan dari negara A                     Rp   250.000.000
penghasilan dari negara C                     Rp   300.000.000 (+)
total penghasilan kena pajak                  Rp1.050.000.000
  1. menghitung total pajak terutang
10% x Rp50.000.000                           Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000                           Rp    7.500.000
30% x Rp950.000.000             Rp285.000.000 (+)
Total pajak terutang                              Rp297.500.000
  1. menghitung maksimal pajak yang dapat dikreditkan
–         dari negara A = (250.000.000 : 1.050.000.000) x Rp297.500.000 = Rp70.833.332
–         dari negara C = (300.000.000 : 1050.000.000) x Rp297.500.000 = Rp85.000.000
  1. menghitung pajak yang dipotong atau dibayar di luar negeri
dari neg A        20% x Rp250.000.000             Rp50.000.000
dari negara C    35% x Rp300.000.000             Rp105.000.000
dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia adalah:
– dari negara A                                                                         Rp  50.000.000
– dari negara C                                                                         Rp  85.000.000 (+)
Total kredit pajak pasal 24                                           Rp135.000.000

Minggu, 10 April 2016

Pajak Penghasilan Final atau Tidak Final (PPh) ?

Pajak Penghasilan Final atau Tidak Final (PPh) ?

Pajak Penghasilan Final (PPh Final)
Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang akan tetapi merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya.
Pengenaan PPh secara final mengandung arti bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang dikenakan, baik yang dipotong fihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang dikenakan PPh final ini tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan-penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan tertentu dengan pertimbangan kesederhanaan, kemudahan, serta pengawasan.Pengenaan PPh Final sebagian berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini. Namun demikian, ada juga pengenaan PPh final berdasarkan Pasal lain yaitu Pasal 15, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang PPh.
Dengan demikian maka penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh final) ini tidak akan dihitung lagi Pajak Penghasilannya pada SPT Tahunan dengan penghasilan lain yang non final untuk dikenakan tarif progresssif (pasal 17 UU PPh). Namun atas pelunasan pemotongan atau pembayaran PPh final tersebut juga bukan merupakan kredit pajak pada SPT Tahunan.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah sebagai berikut:
  • Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
  • Jumlah PPh Final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan pada SPT Tahunan.
  • Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan
Pertimbangan penerapan PPh Final:
  • Penyederhanaan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha
  • memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak.
Perbedaan Pajak Penghasilan yang bersifat Final dan Tidak Final
No. Pajak Penghasilan Tidak Final Pajak Penghasilan Final
  1. Pajak Penghasilan dihitung dari Penghasilan netto yaitu penghasilan bruto ± biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan Pajak Penghasilan dihitung dari penghasilan bruto tanpa memperhitungkan biaya-biaya untuk memperoleh, managih dan memelihara penghasilan
  2. Dikenakan tarif umum progressif (Pasal 17 UU PPh) Dikenakan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah atau KepMen.
  3. Jumlah PPh yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri dapat dikreditkan pada SPT Tahunan Jumlah PPh yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan pada SPT Tahunan 4 biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto 5 Dalam keadaan rugi Wajib Pajak tidak membayar Pajak Penghasilan bahkan kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga ke 5 (lima) tahun pajak berikutnya.
Dalam keadaan rugi Wajib Pajak tetap membayar Pajak Penghasilan karena pengenaan pajak dikenakan pada penghasilan bruto dan bukan penghasilan netto.
Beberapa kategori penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah sebagai berikut:
  1. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
  2. Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan
  3. Penghasilan dari hadiah atas undian
  4. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
  5. Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan.
  6. Penghasilan atas bunga atau diskonto obligasi yang diperdagangkan dibursa efek
  7. Penghasilan atas jasa konstruksi
  8. Penghasilan atas perusahaan pelayaran dalam negeri
  9. Penghasilan atas perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri.
  10. Penghasilan BUT perwakilan dagang asing di Indonesia
  11. Penghasilan atas selisih lebih revaluasi aktiva tetap
  12. Penghasilan atas penjualan hasil produksi pertamina
  13. Penghasilan atas bunga simpanan anggota koperasi
  14. Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha.
  15. Penghasilan atas diskonto surat perbendaharaan negara
  16. Penghasilan atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa.
  17. Penghasilan atas deviden yang diterima oleh Orang Pribadi dalam negeri.
Tidak Termasuk Objek Pajak
1. a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak ybs;
2. Warisan;
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang di terima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi Dwiguna dan asuransi beasiswa;
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP Dalam Negeri,koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
– dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
– bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
– merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
– sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Bagaimana Cara Menghitung Tarif Retribusi Daerah

Bagaimana Cara Menghitung Tarif Retribusi Daerah? www.poltekapi.ac.id
Dalam kegiatan sehari-sehari, kerap kali kita dihadapkan pada layanan jasa pemerintah daerah yang dikompensasi dengan Retribusi Daerah. Saat parkir di tepi jalan, pengguna jasa diminta untuk membayar Retribusi. Kala sakit dan membutuhkan layanan jasa pengobatan dari puskesmas atau RSUD, pasien diminta untuk membayar Retribusi. Pengemudi bis kota atau angkot saat menggunakan jasa terminal, akan diminta membayar karcis retribusi. Masyarakat yang membangun rumahnya, dan diwajibkan untuk memiliki IMB, maka akan diminta membayar Retribusi.

Mungkin akan terlintas pertanyaan bagi para pengguna layanan jasa yang disediakan Pemerintah Daerah, apa dasar penetapan harga yang ditetapkan dalam tarif Retribusi Daerah? Dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dijelaskan mengenai panduan bagi Pemerintah Daerah dalam penetapan tarif Retribusi Daerah. Pada prinsipnya tarif Retribusi muncul dari perhitungan biaya yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam penyediaan jasa tersebut. 

Dalam penetapan tarif Retribusi, metode perhitungan tarif Retribusi Daerah dapat diklasifikasikan atas penggolongan jenis Retribusi, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.


1. Retribusi Jasa Umum

Contoh Retribusi Jasa Umum sebagai berikut:
  1. Retribusi Pelayanan Kesehatan
  1. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
  1. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil
  1. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
  1. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
  1. Retribusi Pelayanan Pasar
  1. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
  1. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
  1. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
  1. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
  1. Retribusi Pengolahan Limbah Cair
  1. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
  1. Retribusi Pelayanan Pendidikan
  1. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. 
Penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan jasa yang disediakan. Biaya penyediaan jasa layanan meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. Apabila penetapan tarif sepenuhnya dikalkukalsi dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.

Misalnya, tarif retribusi rawat inap di RSUD. Perhitungan biaya dapat dikalkulasi dengan memperhitungan biaya material, biaya upah yang terkait dengan layanan rawat inap, kemudian biaya tidak langmengkalkulasi biaya material seperti biaya makan, biaya listrik, dan biaya operasional lainnya. Maka biaya-biaya seperti biaya kebersihan, biaya laundry, biaya listrik, biaya satuan atas penggunaan ruangan dan tempat tidur, serta biaya-biaya lainnya. Setelah dikalkulasi misal didapat nilai total Biaya Rp100, maka tarif Retribusi harus di bawah dari kalkulasi total biaya karena dalam klasifikasi Retribusi Jasa Umum hanya untuk menutup sebagian biaya.

2. Retribusi Jasa Usaha

Contoh retribusi jasa usaha adalah sebagai berikut:
  1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
  1. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan
  1. Retribusi Tempat Pelelangan
  1. Retribusi Terminal
  1. Retribusi Tempat Khusus Parkir
  1. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
  1. Retribusi Rumah Potong Hewan
  1. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
  1. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
  1. Retribusi Penyeberangan di Air
  1.  Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Adapun yang dimaksud dengan keuntungan yang layak  adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Misalnya, setelah dilakukan perhitungan total biaya diperoleh nilai Rp100, maka Pemerintah Daerah dapat menetapkan tarif retribusi di atas biaya yang secara estimasi akan dikeluarkan. Apabila margin pasar berlaku misalnya 20% atas biaya, maka Pemda dapat menetapkan tarif Retribusi senila Rp120,- 

3. Retribusi Perizinan Tertentu

Jenis retribusi perizinan tertentu adalah sebagai berikut:
  1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
  1. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
  1. Retribusi Izin Gangguan
  1. Retribusi Izin Trayek
  1. Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.

Dalam klasifikasi Retribusi ini, penyelenggaraan izin tidak hanya menghitung biaya administrasi izin saja (kertas, tinta dll). Biaya-biaya seperti monitoring atas pemenuhan ketentuan, biaya survey, biaya sidak, dan biaya-biaya dampak negatif yang dikuantifikasi dapat disertakan dalam perhitungan tarif Retribusi ini.

Contoh Retribusi Jasa Umum, Jasa Usaha, dan Perizinan Tertentu dapat dilihat di sini

Seri PPh - Bentuk Usaha Tetap

Seri PPh - Bentuk Usaha Tetap

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
  1. tempat kedudukan manajemen;
  2. cabang perusahaan;
  3. kantor perwakilan;
  4. gedung kantor;
  5. pabrik;
  6. Bengkel;
  7. Gudang;
  8. ruang untuk promosi dan penjualan;
  9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
  10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
  12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  13. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  15. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia;dan
  16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Contoh BUT :
adalah Perusahaan dari China yang memenangkan tender pembangunan PLTU maka untuk membangun PLTU tersebut perusahaan dari China mendirikan BUT yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut, setelah selesai maka BUT tersebut bubar dan mengajukan penghapusan NPWP.
Dasar Hukum : Pasal 2 UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Sabtu, 02 April 2016

Penggelapan Pajak di Riau


Ditjen Pajak Jemput Paksa Tersangka Penggelapan Pajak di Riau

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, melalui penyidik di Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau menjemput paksa tersangka kasus pengelapan pajak berinisial AP. Dari kasus ini, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp 5 miliar.

"Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau menjemput paksa AP pada Rabu (18/12/2013)," kata Kepala Seksi Hubungan Eksternal DJP Kemenkeu, Chandra Budi dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (27/12/2013).

Selanjutnya, tambah dia, pihaknya dibantu oleh Korwas PPNS Polri melakukan penangkapan dan penahanan tersangka “AP”.

Chandra menjelaskan, tindak pidana perpajakan yang dilakukan “AP” menyangkut bidang perdagangan alat-alat elektronik. AP, menurutnya, melaporkan isi Surat Pemberitahuan (SPT) secara tidak benar.

"Dia melaporkan omzet yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya untuk tahun pajak 2005 sampai dengan 2008.  Atas perbuatannya itu, diperkirakan negara mengalami kerugian sebesar Rp 5 miliar.

Sebelumnya, tersangka “AP” tidak kooperatif terhadap pemanggilan Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau dalam rangka melengkapi keterangan tambahan yang diperlukan oleh Jaksa Peneliti.

Setelah dua kali tidak memenuhi panggilan tanpa alasan, selanjutnya penyidik berkoordinasi dengan Korwas PPNS Polri dalam rangka permohonan bantuan membawa dan menghadapkan tersangka “AP” kepada Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau.

"Langkah ini menunjukkan kesungguhan Ditjen Pajak dalam rangka melaksanakan penegakan hukum di bidang perpajakan.  Selain itu, terungkapnya kasus ini diharapkan juga mampu memberikan efek jera kepada seluruh Wajib Pajak lainnya sehingga kepatuhannya akan semakin meningkat," tandas Chandra. (Fik/Ndw)

contoh kartu NPWP







www.poltekapi.ac.id